Tuesday, April 24, 2012

Kenali Dampak Negatif Gadget pada Anak


Kenali Dampak Negatif Gadget pada Anak
           
Description: http://www.go4healthylife.com/content_images/anak%20stres2_thumbmedium.jpg
Go4HealthyLife.com, Jakarta – Mungkin Anda pernah perhatikan sejumlah anak di bawah usia lima tahun kini begitu asyik dengan ponsel pintar, atau tablet pintar, sehingga abai dengan sekelilingnya.

Belakangan mudah didapati anak-anak ini asyik dengan peralatan canggihnya, sementara orangtuanya juga sibuk dengan ponsel pintarnya. Mungkin para orangtua tidak menyadari bahwa membiarkan anak belum cukup umur bermain peralatan canggih bisa menyulitkan anak dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.

“Saya tidak antigadget. Namun sebaiknya orangtua bijak saat memberikan peralatan canggih kepada anak, apalagi jika mereka masih kecil tanpa didampingi saat menggunakannya. Otak anak-anak itu memang bekerja saat bermain dengan gadget, namun kemampuannya bersosialisasi dengan lingkungan akan berkurang. Akibatnya anak akan gagap saat harus bergaul, kurang memiliki empati terhadap orang lain,” ujar Ratih Ibrahim, psikolog dari Personal Growth saat bincang-bincang dengan media membahas mengenai stres anak di Luna Negra, Plaza Bapindo Jakarta, Selasa (20/3).

Ratih menambahkan, jika terbiasa berkomunikasi satu arah dengan peralatan canggihnya, anak akan lambat dalam merespon bahaya. “Karena tak biasa berkomunikasi dengan lingkungan, ini membuat anak lambat mengantisipasi bahaya yang datang. Ini bisa berbahaya jika ada orang yang berniat jahat pada si anak,” ujar Ratih.

Terkait dengan maraknya penggunaan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, dalam kesempatan yang sama Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, mendesak para orangtua agar tak terlalu mengekspos foto anak-anaknya, apalagi sampai membeberkan identitas si anak dengan gamblang.

“Banyak kejahatan berawal dari sosial media. Jika data anak diobral begitu, anak akan menjadi sasaran empuk orang-orang yang punya tujuan tidak baik, termasuk penculikan dengan memanfaatkan data dan foto yang ada di jejaring sosial,” kata Arist.

Menanggapi hal itu, Ratih berpesan agar orangtua menyikapi hal ini dengan bijaksana. “Jejaring sosial biasanya mensyaratkan usia minimal. Tentu ini punya tujuan. Yang terpenting, beritahukan risikonya kepada anak. Jika perlu dampingi anak-anak saat menggunakan jejaring sosial. Harus ada trust antara anak dan orangtua,” ujar Ratih.

Dalam kesempatan tersebut Personal Growth mencatat bahwa 4 dari 5 anak yang datang berkonsultasi menunjukkan gejala stres berat. Ratih mengatakan, anak-anak yang stres ini menunjukkan sejumlah ciri seperti gampang menangis, mudah tersinggung, pemarah, kehilangan minat, percaya diri luntur, menunjukkan sikap gelisah, kerap menggertakkan gigi, mudah mengigau saat tidur atau bermimpi buruk, hingga menarik diri dari pertemanan.

“Kebanyakan anak yang stres karena kurang komunikasi antara orangtua dan anak. Misalnya orangtua menuntut anak melebihi kapasitasnya. Mengikutsertakan les ini itu, atau anak harus pintar di bidang-bidang tertentu, namun mengabaikan kemampuan anak di bidang lainnya,” kata Ratih.

Ratih menambahkan, stimulasi yang keliru juga dapat mencetuskan stres pada anak. “Misalnya orangtua memberikan harapan yang terlalu tinggi pada anak melebihi kemampuannya. Ini juga memicu stres,” ujar Ratih.

Arist menambahkan, untuk mencegah stres pada anak, komunikasi penting dilakukan. “Orangtua harus memahami anak. Jangan hanya bicara satu arah. Bicaralah sebagai teman, jadi sejajar dengan anak. Dengarkan pendapatnya,” ujar dia.


Friday, April 20, 2012

Education Begins at Home


Education Begins at Home

Source: http://childdevelopmentinfo.com/learning/education-begins-at-home.shtml

By
George Tucker, PhD
Child Psychologist 
The CA Teachers Association and PTA recently distributed a Public Service Announcement (PSA) titled “Your Child’s Education Begins at Home.”
Although it is to be assumed that those who are reading this article already know that education begins at home, the PSA contained some wisdom that bears repeating.
Description: http://childdevelopmentinfo.com/wp-content/uploads/2011/09/study-help.s200x200.jpg?9d7bd4First, ask your children what they studied in class that day.  (If you are homeschooling your children, omit this step, as they may think you are developing memory problems!) When I ask my 9-year-old what he learned in school, he often says, “Nothing.”  I then have to ask more direct questions, such as, “What did you study in Math today?  Science?  English?  Give me an example of something you learned in one of your classes that you can use in life.”  This generally gets the conversation going. My son often reacts unfavorably to these discussions at first, but we generally are laughing about something by the end of the discussion.  It is always worth pursuing.
Next, pick a certain time of day that is dedicated to talking about school and doing homework.  It helps kids to have a routine.  Even though it may be difficult to follow the routine and still support athletic or other extracurricular activities, attempt to keep the school and homework time as consistent as possible.  Also, check the homework after your child finishes to ensure that your child is, indeed, finished!.  Also, it is usually better to have your child finish their work, i.e., homework, before their play, i.e., video games or watching television.  On psychology, there is a name for this tactic.  It is called the Premack Principle.  Succinctly stated, the Premack Principle says that the high probability behavior (what your child enjoys doing) should be contingent on performing the lower probability behavior (usually, homework) beforehand.  This way, homework or studying is rewarded with access to what your child likes to do.  So, whenever possible, ensure that studying or homework is completed before your child is allowed to watch television, play video games, or play with their friends.
Third, it is a good idea to learn together.  In last month’s article we talked about the value of reading to your child.  It is also a good idea to learn with them.  That is, while they are completing their homework, it would be good to engage in an academic activity yourself.  Take a few minutes to read a book or write in your journal in order for them to see that learning is a life-long activity.
Fourth, use real life examples to relate to material that your child is learning in school.  This helps your child transfer what they learn in school to the “real world” outside, and it shows them that there is a greater purpose than memorizing and forgetting new information after the test is completed.  Use examples from math when you go to the grocery store, science when completing chores around the house, and and work history into your discussions whenever possible.
Fifth, meet your child’s teachers and check in with them frequently.  Most schools now have internet webpages and other means of contacting the teacher electronically that do not imfringe upon class time.
Sixth, praise your child for reading and other learning endeavors whenever possible.  Remember that you have less influence over what your child does as they mature, and keep this praise in focus often when they are young.
It was not mentioned in the article, but it would also be a good idea to work with your child on some of the websites that were mentioned in last month’s article.  I am often told that ClicknRead and are especially good sites.
Ensuring that education begins at home increases the likelihood that it will generalize to the school setting and beyond.  Good luck in al your endeavors to make your child a life-long learner.

Tuesday, April 17, 2012

PROGRAM KERJA WHO di INDONESIA


Source: http://www.who.or.id/ind/ourworks.asp?id=ow3#top
PROGRAM KESEHATAN ANAK DAN REMAJA 1

Pokok Persoalan dan Tantangan:
Di Indonesia, kesehatan dan jasa-jasa lainnya secara umum semakin lama mulai menanggapi kebutuhan-kebutuhan dan permintaan dari kebanyakan remaja. Sejumlah projek dan program yang didukung oleh pemerintah dengan atau tanpa bantuan donatur telah ada selama beberapa waktu, namun kebanyakan dari mereka hanya berfokus pada sejumlah isu-isu yang terbatas saja yang berhubungan dengan remaja dan tidak pada kebutuhan mereka secara keseluruhan. Fokus projek untuk tahun 2004-2005 adalah untuk mendukung pengembangan lebih lanjut dari rencana pembangunan remaja nasional dan daerah dan pelaksanaannya, termasuk kebutuhan koordinasi antara para mitra, akses dan mutu dari jasa kesehatan yang ramah remaja dalam konteks pendekatan yang lebih "ramah publik" dan akses bagi remaja ke informasi yang dapat diandalkan dan relevan yang mana remaja dapat mendasarkan keputusannya.
Sasaran:
  • Menyusun pedoman perencanaan dan teknis, terutama bagi tingkat daerah, untuk memperbaiki kesehatan remaja berdasarkan Rencana Kesehatan Remaja Nasional.

PROGRAM KESEHATAN ANAK DAN REMAJA 2

Pokok Persoalan dan Tantangan:
Indonesia masih memiliki angka kematian bayi dan balita yang cukup tinggi dengan angka yang sangat tinggi di sejumlah daerah. Masalah ditemukan dalam periode neonatal dan dampak dari penyakit menular, terutama pneumonia, malaria dan diare, ditambah dengan masalah gizi mengakibatkan lebih dari 80% kematian anak. Perawatan Penyakit Anak yang Terpadu (IMCI), yang diperkenalkan oleh WHO di tahun 1995, sedang diadopsi dan digunakan oleh banyak daerah dan propinsi. Kebanyakan pedoman teknis yang dibutuhkan untuk IMCI termasuk pedoman perencanaan, sedang dikembangkan dan digunakan meskipun sebagian perlu diperbaiki terutama yang berhubungan dengan kesehatan anak baru lahir.
Diperlukan penggabungan dari pendekatan IMCI kini yang terbatas dengan kebutuhan keseluruhan dari semua anak-anak (sakit dan sehat). Diperlukan juga untuk mencari cara-cara untuk mengurangi angka kematian bayi dan anak nasional dengan menargetkan daerah-daerah dimana angka ini paling tinggi dan dengan menargetkan kematian bayi bersama dengan program kesehatan lainnya seperti kesehatan ibu.
Fokus dari rencana kerja tahun 2004-2005 akan menjadi tantangan untuk mengembangkan strategi daerah keseluruhan untuk kesehatan anak sesuai dengan kebijakan kesehatan anak nasional. Pelaksanaan dari intervensi kesehatan anak yang luas dan terpadu, perbaikan alat-alat yang ada dan pengembangan alat-alat untuk membantu mengubah fokus pada anak yang sakit ke kesehatan keseluruhan dari anak.
Ini akan dicapai dengan mengikuti dasar-dasar dari pendekatan IMCI (peranan dari tingkat keluarga/masyarakat, meningkatkan ketrampilan pekerja kesehatan dan sistem kesehatan yang dibutuhkan untuk kesehatan anak) termasuk isu penting akan gizi, terutama pemberian ASI, sampai dengan pasal-pasal yang relevan dari Convention of Rights of the Child (CRC/ Konvensi Hak-Hak Anak). Selain itu, projek ini juga akan berupaya untuk memetakan dan membantu daerah-daerah dimana intervensi kesehatan anak memiliki dampak yang paling besar pada kematian anak.
Sasaran:
  • Pendekatan yang lebih luas terhadap kesehatan anak sesuai dengan CRC, terutama pada tingkat daerah, termasuk ketiga komponen dari IMCI, periode neonatal dan isu-isu gizi seperti pemberian ASI. Sasaran ini, meskipun dibawah Sasaran Global Kesehatan Anak dan Remaja 3.1.3, juga akan berkontribusi secara besar pada Sasaran Global Kesehatan Anak dan Remaja 3.1.1(CRC), 3.1.4 (kesehatan bayi) dan NUT 4.2.4 (kurang gizi/ gizi).
PROGRAM PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN REPRODUKSI

Pokok Persoalan dan Tantangan:
WHO memperkirakan kesehatan reproduksi yang buruk berjumlah 33% dari jumlah total beban penyakit pada wanita dibandingkan dengan 12,3% pada pria pada usia yang sama. Setiap tahunnya sekitar 4.500.000 wanita melahirkan di Indonesia dan sekitar 15.000 mengalami komplikasi yang menyebabkan kematian. Jumlah kematian bayi dapat diperkirakan sekitar 120.000. Dari riset yang berbeda-beda dilaporkan bahwa kurang gizi dan anemia, fertilitas dan kehamilan remaja dengan risiko-risiko yang berhubungan, meningkatnya insiden penyakit yang menular melalui hubungan seks dan HIV/AIDS, malaria dalam kehamilan dan komplikasi aborsi adalah isu-isu yang patut dipelajari lebih lanjut untuk lebih dimengerti implikasinya dan kontribusinya terhadap tingginya AKI dan AKB di Indonesia.
Di beberapa propinsi ( seperti Maluku Utara, Timor Barat, Sumatera Barat), insiden malaria dalam kehamilan dan malaria bawaan sangat tinggi dan ada kebutuhan yang mendesak untuk menyuarakan kebijakan dan rencana pembangunan.
Dengan jumlah tinggi SB yang dilaporkan di beberapa propinsi seperti di Sumatera Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur maka harus diketahui informasi lebih banyak lagi tentang kemungkinan penyebab IUD, syphilis adalah salah satunya dan kebijakan yang berhubungan dengan penyakit yang menular melalui hubungan seks/HIV harus menjadi langkah berikutnya.
Rendahnya angka kelahiran yang dibantu oleh personel yang terampil adalah salah satu tantangan dari sistem pelayanan ibu dan bayi yang telah meletakkan ribuan bidan di desa-desa di Indonesia. Untuk mengerti apa yang menghalangi wanita dari jangkauan personel yang terampil memerlukan penyelidikan yang tepat agar dapat menyelesaikan masalah dari akarnya.
Langkah pertama untuk mencapai keikutsertaan politik adalah untuk meyakinkan para pembuat kebijakan dengan data yang jelas bahwa tindakan yang tepat harus diambil.
Sasaran:
  • Dukungan teknis yang disediakan untuk DepKes untuk pengembangan kebijakan dan rencana untuk mencegah malaria dalam kehamilan dan malaria bawaan, penularan vertikal HIV dan syphilis dalam kehamilan dan untuk membentuk beberapa riset prioritas dalam wilayah MPS dan dalam menerapkan standar yang berdasarkan bukti dan kebijakan untuk mengurangi angka kematian dan kesakitan ibu dan bayi.

PROGRAM PENINGKATAN KEHAMILAN YANG LEBIH SEHAT
Pokok Persoalan dan Tantangan:
Peningkatan kesehatan ibu dan bayi di Indonesia adalah salah satu komitmen DepKes melalui penerapan Rencana Pengurangan Angka Kematian dan Kesakitan Ibu dan Bayi. Setelah Indonesia telah membuat investasi yang penting dalam pembangunan prasarana yang mendasar dan sumber daya manusia untuk penghantaran Pelayanan Kesehatan Utama, indikator-indikatornya belum memperlihatkan hasil positif yang diharapkan. Meskipun adanya kemajuan di antara indikator-indikator sosial ekonomi, Angka Kematian Ibu dan Bayi masih tinggi dengan perkiraan sekitar 334 kematian per 100.000 kelahiran yang hidup - Metode Sisterhood 1997 - dan Angka Kematian Bayi adalah 25/1000.
Indikator yang menunjukkan masalah yang harus dihadapi: meskipun kunjungan antenatal yang pertama menjangkau 90% dari ibu hamil, hanya 60% kelahiran dilakukan oleh personel yang terampil. Hingga kini, penerimaan, akses dan penggunaan perawatan darurat yang dasar dan lengkap bergantung pada jangkauan ekonomi, perilaku, sosial, budaya dan kemampuan dan pengetahuan dari wanita dan pria untuk memutuskan jika dan dimana untuk mencari pelayanan. Penyebab ini dapat berasal dari berbagai batasan finansiil sampai dengan kurangnya kepastian dalam pelayanan yang memperlihatkan kebutuhan akan perbaikan yang besar karena referensi waktu dalam situasi darurat masih menjadi isu di banyak daerah, perawatan perinatal tidak menanggapi persyaratan kualitas dan masih rendahnya pengertian akan pentingnya persiapan kelahiran: situasi yang meningkatkan risiko yang berhubungan dengan kematian dan kesakitan ibu dan perinatal.
Pengalaman dari kemungkinan dan kesinambungan dari pengawasan yang teratur, bertumbuh dan mendukung dan sampai tingkat pelayanan yang berbeda-beda telah memperlihatkan penerapan yang sulit dan dengan hasil yang buruk, atau tidak ada hasilnya. Pengawasan adalah kegiatan yang mahal, ini memerlukan orang-orang yang terlatih dengan baik dan penuh pengabdian, ini harus bersifat teratur, ini harus memberikan tanggapan, ini harus menghasilkan sesuatu dan tindakan yang diharapkan untuk diambil oleh kedua belah pihak pengawas dan diawasi. Pendekatan-pendekatan yang berbeda telah dicoba untuk memperbaiki pengelolaan dan kualitas perawatan klinis; salah satunya menekankan kapasitas dari personel kesehatan untuk belajar dari kesalahan dan keterbatasannya. Dengan menggunakan pengalaman yang diperoleh dari negara-negara lain dan untuk meningkatkan pengertian setempat dan penggunaan yang tepat dari audit AKI dan AKB ada kebutuhan untuk tindak lanjut yang lebih baik dari penggunaannya. Penerapannya yang tepat adalah langkah pertama bagi staf kesehatan untuk menjadi aktor dan bertanggung jawab dari perbaikannya sendiri dan untuk menyokong dan memberikan anjuran ke pengelola untuk perubahan-perubahan yang akan memperbaiki pelayanan ke klien.
Konsep perbaikan yang sama dari pelayanan melalui pengawasan dan evaluasi diri sendiri dan tim tetap berada di belakang pendukung dari penyelenggaraan "Sistem Kinerja Klinis dan Pengelolaan", sebagai alat yang perlu diperbaiki dan ditetapkan kembali jika ingin diperkenalkan ke dalam skala yang lebih besar di propinsi dan daerah yang lain dan dalam pelatihan pra-pelayanan.
Kebijakan Nasional menyatakan bahwa: semua kelahiran harus dibantu oleh staf kesehatan yang terlatih. Sedangkan selama periode transisi kemitraan antara TBA dan bidan desa sangat dianjurkan. Setelah dikeluarkannya Permenkes no. 900 otoritas hukum dari seorang bidan dalam membantu kelahiran yang komplikasi menjadi lebih luas dan untuk tahun 2010 semua bidan desa harus dilengkapi dan dilatih untuk membantu kelahiran yang komplikasi dan harus mampu untuk melakukan resusitasi dan merawat bayi yang baru lahir dengan tepat. Banyaknya seminar dalam pelayanan yang diselenggarakan dan yang sedang berjalan di dalam negeri nampaknya tidak ada dampak pada kualitas perawatan obstetrik sampai kini dan pastinya tidak memperlihatkan kontribusi menuju penurunan AKI dan AKB. Untuk berkontribusi secara bermakna dalam perbaikan kualitas pelayanan yang berkelanjutan dan berkesinambungan, suatu keputusan yang penting harus dibuat: intervensi yang jangka panjang, permanen dan terkoordinasi harus diprioritaskan untuk mencapai perbaikan yang lebih baik dan tahan lama di dalam kualitas pelayanan yang ditawarkan kepada ibu hamil dan bayi mereka. Keputusan ini tidak menjadi mudah karena beberapa alasan, namun perbaikan dari pelatihan pra-pelayanan telah memperlihatkan di banyak negara untuk menjadi opsi yang benar. Suatu pelatihan pra-pelayanan yang baik kualitasnya dapat diperoleh hanya dengan mengikuti langkah-langkah yang tepat yang dimulai dengan pengembangan koordinasi yang dekat di antara departemen-departemen yang berbeda yang bertanggung jawab akan pendidikan staf Kesehatan Ibu dan Anak.
Hasil yang positif akan keluar dari intervensi yang berbeda-beda, kurikulum yang diperbaharui dan disusun untuk memenuhi kebutuhan negeri, deontologis yang serius, pelatihan teori dan praktik bagi guru-guru bidan, pelatihan teori dan praktik bagi murid-murid jurusan kebidanan, kriteria pemilihan yang seleksi untuk diterima di Sekolah. Sekolah Kebidanan harus memiliki standar kelembagaan sekolah, tempat pelatihan harus menjadi tempat dimana beban pekerjaan cukup dan perawatan dengan kualitas terbaik dapat diperlihatkan dan diajarkan. Tanggung jawab dari para pembuat kebijakan dan para ahli teknis adalah besar, yaitu mengambil keputusan yang benar adalah tantangan yang besar dan karena model standar harus disusun kembali, beberapa lembaga pemerintah harus didukung untuk memulai dan menerapkan model tersebut di dalam kurun waktu dua tahun yang akan datang. Sekolah Kebidanan yang sekarang ada berjumlah 117 (46 milik DepKes, 58 swasta, 12 milik pemerintah setempat, 1 milik Angkatan Darat) adalah tugas besar yang harus diperhatikan dan diawasi kualitasnya dengan tepat, pastinya dengan sekolah baru yang harus diakreditasi, dengan ini intervensi suara dalam bidang ini adalah harus.
Sasaran:
  • Membantu DepKes untuk menyediakan dan untuk memperkuat kapasitas kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi di tingkat pusat, propinsi dan daerah, dalam pendidikan kebidanan pra-pelayanan dan memperkuat koordinasi di dalam organisasi professional DepKEs dan mitranya untuk perencanaan MPS, menerapkan pengawasan dan evaluasi.

PROGRAM HIV/AIDS
Pokok Persoalan dan Tantangan:
Seperti yang telah diidentifikasikan di dalam kerangka kerja strategis WHO SEAR, meskipun dengan upaya-upaya yang sedang berjalan, ini masih mengalami banyak tantangan. Ini termasuk, disamping yang lainnya, meningkatnya intervensi pencegahan yang berhasil, meningkatkan kesadaran akan HIV/AIDS dalam masyarakat, mengatasi beberapa rintangan terbesar yang menghalangi tanggapan yang efektif seperti penyangkalan, menyalahkan, kepuasan dan aib, dan menyediakan jasa konseling dan tes dengan sukarela, dan juga perawatan dan bantuan bagi mereka yang sudah terinfeksi.
Sasaran:
  • Menyediakan dukungan teknis untuk pencegahan penularan secara seksual dari HIV dengan meningkatkan pencegahan dan perawatan dari penyakit yang menular melalui hubungan seksual.
  • Menyediakan dukungan teknis untuk pencegahan penularan HIV melalui darah dengan mencegah HIV di antara para pengguna jarum suntik narkoba; dan menjamin praktik penyuntikan yang aman di lingkungan pelayanan kesehatan (termasuk perlindungan bagi pekerja kesehatan).
  • Menyediakan dukungan teknis untuk memperkuat perawatan dan bantuan yang lengkap termasuk VCT; perawatan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan HIV/AIDS; dan memperbaiki akses terhadap ART.

10 Steps to Raising a Multilingual Child


10 Steps to Raising a Multilingual Child
The truth is you raise a bilingual or multilingual baby the same way as a monolingual baby -- you talk to them! Infants acquire language; they can't really be taught. However, you can certainly improve conditions, avoid pitfalls, and help the process along!
  1. Agree on multilingualism
  2. Know what to expect and when
  3. How many languages -- what is practical?
  4. Decide which language system works for you
  5. Don't wait -- now is the perfect time!
  6. Declare your intentions
  7. Establish a support network
  8. Get relevant materials
  9. Set your goals, but remain flexible
  10. Have patience and keep going
1. Agree on multilingualism
Most families that have the opportunity to raise a bilingual or multilingual child can come to a amicable agreement whether to pursue it or not. But, sometimes we are asked, "What do I do if my partner isn't supportive of me speaking my native language to our child?" This is very sad but also understandable. There can be a fear of being left out, not knowing "the secret language", or concerns if it's good for baby. Many of these common misconceptions are answered on this site, as well as the key advantages you can list when arguing your case. Some brave souls keep going despite lack of support. We salute you -- wanting to speak to your child in your native language is something your child will benefit from, guaranteed. And in the meantime, your significant other may well come around. Some parents go off on the other extreme and speak a language that is not their mother tongue to baby from birth, just to provide early language exposure. Luckily, most couples find a way that's acceptable to all parties, as well as beneficial for the baby.

2. Know what to expect and when
Some people just want to plunge into raising a multilingual baby, especially if bilingualism and multilingualism are common in their community. This lassiez-faire approach is great, as it means the parents are comfortable and committed to the concept, and this attitude promotes learning. However, for others, multilingualism can turn the prior communication pattern in the family on its heels, so it pays to be well-prepared. Also, informed parents spot warning signs earlier and know what to do when problems arise such as speech and hearing difficulties, one language lagging behind, or the child's refusal to speak a language. Educate yourself about your baby's language milestones, and you will no doubt marvel at these just as you cherish the first time he rolls over, sits up, and takes his first step.

3. How many languages?
What do you want to accomplish with multilingualism? Do you want to share the heritage language of your family or just help your child learn a foreign language without the necessity for study? The motivations are many and varied, but the practicalities are similar. First, how many languages you choose depends upon the practical elements in the household. For example, can someone within the immediate family provide meaningful language exposure in another language? Do you live in an area where there are plenty of foreign speakers?
Generally, the number of languages within the household is the number of languages baby gets on his plate, maybe with one extra. So, most parents who don't speak a foreign language themselves typically don't go beyond bilingualism for their child. On the other hand, when each parent speaks a different foreign language, they may venture for those two, the community language and possibly one more, i.e. four languages.
Beyond four simultaneous languages, the success rate starts to fall significantly. Researchers claim that a child needs to be exposed to a language 30% of their waking time to actively speak it. Regardless of how many languages, you do need regular exposure and creating a need for baby to use them -- plus the ability to maintain that for alt least the first five years of the child's life. If you're able to provide that for the languages you want her to learn, go for it!

4. Decide on a Language System
Your family should discuss a few issues to make sure everyone is on the same page. Who should speak what language to baby? The two most common and among the most successful language systems are One Person One Language (OPOL) and Minority Language at Home (ML@H). If you have the opportunity and desire, you could add a language beyond what the family provides through an outside source like an immersion program, a nanny or au pair. This is perhaps the easiest way for parents who don't speak any foreign languages to give early language exposure to their baby. Is there a time specific rule you'd like to apply? For example, both parents will speak the minority language during the weekend even though one parent may only be a rudimentary speaker of the language. This is a perfectly legitimate solution, as well. Actually, there are endless variations, and we have an entire section in our discussion board on this subject alone.

5. Don't wait - Now is the perfect time!
The ideal time to start multilingualism is even before your baby is born. Only recently, with the help of modern technology, have researchers been able to actually see what's going on inside the head of infants. As it turns out, a baby knows important things about language even before birth, and he gains fundamental verbal skills long before he utters his first word. So, why is it a bad idea to postpone it? You could say the brain is "primed" the first three years of life with synapses at a peak, busily setting up the optimal neural pathways to mediate language. This construction of the brain's language chip continues, but at an ever-slowing rate until late childhood. Even if you don't start from birth, the earlier is truly easier for both you and your child. By the early teens, the baby's special abilities are completely gone. Besides, the younger the child, the less likely they will care about blatant errors. They'll just happily chatter away until your ears are ready to fall off. What better learning conditions can you ask for?

6. Declare your intentions
Before your baby is born, everyone will have an opinion about the names you're considering for your little one. Once the name is given, most people drop the subject. The same is true of multilingualism. Everyone will no doubt have an opinion before you start, but once you begin, they will just accept it. The best tactic is simply to not ask for support or approval from your friends and extended family. We've found it's better to never open the door for negotiations -- simply inform them of your decision. Most opposition you encounter can be politely ignored with a nod or a smile. You might simply say, "That's interesting" or "That's a good point." If it's someone whose opinion you really care about, gently educate them. Well-informed explanations will go a long way. Dispelling common myths on multilingualism and show them the advantages instead, should help you persuade them.

7. Establish a support network
Get your support from others like you. Most things are more fun and rewarding if you share them with like-minded people. Not only do you have a peer group to discuss the art of raising multilingual children and benefit from the experiences of others, but you will build a network of other speakers of your minority language. Equally important, it gives your child the opportunity to hear, speak, and interact with other children in the minority language. This is an enormous motivator for them (this time, group pressure actually works in your favor!) And playgroups are among the best and easiest ways to do it. They may even remain friends with a few of the kids for a long time. Play friends are probably the best way to ensure continuous language exposure over the years -- especially when Mom and Dad lose the coolness factor.

8. Get relevant materials
Having books, music, movies, and toys in your minority language is both fun and useful. There are other household items such as place mats, tableware, posters, etc. that also are helpful. Tangible items that can be played with, mouthed, and shaken will provide a more realistic reminder to your child of the language. In our product section, we have compiled a list of favorites among many parent-recommended products.

9. Set your goals, but be flexible
Unfortunately, there are many things that can undermine the best laid language learning strategy. The most difficult ones include divorce or loss of a parent. Less dire ones might be that your Russian-speaking nanny just quit, or your child was wait listed at the immersion preschool you had counted on. Each situation has to be evaluated, but with flexibility you can get back on track. It's certainly not the end of the world if your child gets less exposure to the minority language for a period of time. She will remember what she has learned when you're able to increase the language interaction again.
The dangerous threshold to avoid is refusal to speak. In this situation, you'll have to be creative and try to find increased exposure to the minority language. Or, you may have to change your goals. Is passive knowledge sufficient for now? You can still bring the language to active use later, and it will be much easier for your child than for someone without the foundation you have already set. That, in itself is a gift beyond measure. But whatever you do, keep your child in contact with the language in some way!

10. Have patience and keep going
Raising multilingual children does require patience, and there will no doubt be frustrating times. But, of course, parents of monolingual children experience frustration, too! Don't worry if your child doesn't speak his languages as quickly as his friends or with the same proficiency in all of the languages. Reality doesn't always fit our plans. Focus on the success, marvel at what your child can do, and praise, praise, praise! Remember that if you don't try, you don't accomplish anything. Rest assured that when your child says, "I want a hug" in your own language, you'll almost cry with pride. At that moment, it won't matter that it took some extra effort or that you had to wait a bit for the result.

Raising a multilingual child is an immensely rewarding experience. Many of the world's parents are raising their children with more than one language, so go for it!