Tuesday, April 24, 2012

Kenali Dampak Negatif Gadget pada Anak


Kenali Dampak Negatif Gadget pada Anak
           
Description: http://www.go4healthylife.com/content_images/anak%20stres2_thumbmedium.jpg
Go4HealthyLife.com, Jakarta – Mungkin Anda pernah perhatikan sejumlah anak di bawah usia lima tahun kini begitu asyik dengan ponsel pintar, atau tablet pintar, sehingga abai dengan sekelilingnya.

Belakangan mudah didapati anak-anak ini asyik dengan peralatan canggihnya, sementara orangtuanya juga sibuk dengan ponsel pintarnya. Mungkin para orangtua tidak menyadari bahwa membiarkan anak belum cukup umur bermain peralatan canggih bisa menyulitkan anak dalam bersosialisasi dengan lingkungannya.

“Saya tidak antigadget. Namun sebaiknya orangtua bijak saat memberikan peralatan canggih kepada anak, apalagi jika mereka masih kecil tanpa didampingi saat menggunakannya. Otak anak-anak itu memang bekerja saat bermain dengan gadget, namun kemampuannya bersosialisasi dengan lingkungan akan berkurang. Akibatnya anak akan gagap saat harus bergaul, kurang memiliki empati terhadap orang lain,” ujar Ratih Ibrahim, psikolog dari Personal Growth saat bincang-bincang dengan media membahas mengenai stres anak di Luna Negra, Plaza Bapindo Jakarta, Selasa (20/3).

Ratih menambahkan, jika terbiasa berkomunikasi satu arah dengan peralatan canggihnya, anak akan lambat dalam merespon bahaya. “Karena tak biasa berkomunikasi dengan lingkungan, ini membuat anak lambat mengantisipasi bahaya yang datang. Ini bisa berbahaya jika ada orang yang berniat jahat pada si anak,” ujar Ratih.

Terkait dengan maraknya penggunaan jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, dalam kesempatan yang sama Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, mendesak para orangtua agar tak terlalu mengekspos foto anak-anaknya, apalagi sampai membeberkan identitas si anak dengan gamblang.

“Banyak kejahatan berawal dari sosial media. Jika data anak diobral begitu, anak akan menjadi sasaran empuk orang-orang yang punya tujuan tidak baik, termasuk penculikan dengan memanfaatkan data dan foto yang ada di jejaring sosial,” kata Arist.

Menanggapi hal itu, Ratih berpesan agar orangtua menyikapi hal ini dengan bijaksana. “Jejaring sosial biasanya mensyaratkan usia minimal. Tentu ini punya tujuan. Yang terpenting, beritahukan risikonya kepada anak. Jika perlu dampingi anak-anak saat menggunakan jejaring sosial. Harus ada trust antara anak dan orangtua,” ujar Ratih.

Dalam kesempatan tersebut Personal Growth mencatat bahwa 4 dari 5 anak yang datang berkonsultasi menunjukkan gejala stres berat. Ratih mengatakan, anak-anak yang stres ini menunjukkan sejumlah ciri seperti gampang menangis, mudah tersinggung, pemarah, kehilangan minat, percaya diri luntur, menunjukkan sikap gelisah, kerap menggertakkan gigi, mudah mengigau saat tidur atau bermimpi buruk, hingga menarik diri dari pertemanan.

“Kebanyakan anak yang stres karena kurang komunikasi antara orangtua dan anak. Misalnya orangtua menuntut anak melebihi kapasitasnya. Mengikutsertakan les ini itu, atau anak harus pintar di bidang-bidang tertentu, namun mengabaikan kemampuan anak di bidang lainnya,” kata Ratih.

Ratih menambahkan, stimulasi yang keliru juga dapat mencetuskan stres pada anak. “Misalnya orangtua memberikan harapan yang terlalu tinggi pada anak melebihi kemampuannya. Ini juga memicu stres,” ujar Ratih.

Arist menambahkan, untuk mencegah stres pada anak, komunikasi penting dilakukan. “Orangtua harus memahami anak. Jangan hanya bicara satu arah. Bicaralah sebagai teman, jadi sejajar dengan anak. Dengarkan pendapatnya,” ujar dia.


No comments:

Post a Comment